Ada Apa dengan Jakarta International Container Terminal?
Siapa yang tak kenal PELABUHAN TANJUNG PRIOK?
Bagi masyarakat Indonesia, pelabuhan yang berada di wilayah Jakarta Utara itu memang bukan sekadar pelabuhan yang sibuk di mana ribuan truk pengangkut peti kemas keluar masuk di pelabuhan.
Tapi ia adalah saksi sejarah saat negeri yang kemudian hari kita kenal sebagai Indonesia ini masih bernama Hindia Belanda dan Jakarta masih disebut Batavia.
Belanda mengembangkan kawasan Tanjung Priok sebagai pelabuhan baru Batavia pada akhir abad ke-19 untuk menggantikan pelabuhan Sunda Kelapa yang berada di sebelah baratnya.
Pembangunan pelabuhan baru dimulai pada 1877 oleh Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van Lansberge (1875-1881).
Keberadaan pelabuhan di kawasan Tanjung Priok bermula dari pengambilalihan tanah partikelir yang dikuasai para tuan tanah, oleh pemerintah Hindia Belanda pada kurun akhir abad ke-19.
Pemerintah kolonial menyewakan kawasan ini kepada perusahaan pelayaran dari Negeri Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM).
KPM didirikan untuk mengelola pelayaran regional interinsuler (antar pulau) di kepulauan Hindia Belanda, baik pelayaran penumpang dan muatan kargo antara pulau di Hindia Belanda.
Puncak kejayaannya, KPM mengoperasikan lebih dari 140 kapal, mulai yang berukuran kurang dari 50 ton hingga lebih dari 10.000 ton. Jalur pelayaran terbentang dari Hindia, Belanda, Semenanjung Melayu, ke Afrika Selatan, Australia dan China.
Pelabuhan Tanjung Priok resmi beroperasi pada tahun 1886 dengan kontrak sewa kepada KPM selama 75 tahun.
Sebagai penunjang, dibangunlah jalur kereta api yang menghubungkan Tanjung Priok dengan kota lama Batavia dan daerah baru di selatan.
Pelabuhan Tanjung Priok sempat diambil alih pemerintah RI yang baru saja memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun pada 29 September 1945 kembali dikuasai oleh Belanda hingga 27 Desember 1949.
Pasca perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) Pelabuhan Tanjung Priok
kembali dikuasai KPM karena dianggap masih memiliki hak pengelolaan selama 75 tahun hingga tahun 1952.
Pemerintah RI mengambil alih Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 1952. Untuk pengelolaannya diserahkan kepada Kementerian Perhubungan, Djawatan Perhubungan Laut. Sedangkan pelaksananya adalah Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP).
Perum Pelabuhan II merupakan salah satu dari empat Perum Pelabuhan yang mengelola pelabuhanpelabuhan yang diusahakan dan dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1983.
Saat ini, Pelindo II telah mengoperasikan 12 Pelabuhan yang terletak di 10 provinsi Indonesia.
Di antara anak perusahaan Pelindo II yang terbilang cukup tua adalah PT Jakarta International Container Terminal (PT JICT) dan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja. PT JICT didirikan tahun 1999 dengan bidang usaha bongkar muat peti kemas ekspor - impor di Pelabuhan Tanjung Priok. TPK Koja juga melayani hal yang sama untuk Terminal Koja.
Meski PT JICT dan TPK Koja tergolong anak perusahaan tertua, namun nasib keduanya tidak seperti yang lainnya.
Sejak 1999 mayoritas saham (51%) PT JICT dikuasai Hutchison Port Jakarta (HPJ), semula bernama Grossbeak Pte Ltd. Sisanya 48,9%
dimiliki PT Pelindo II dan 0,1% dimiliki Koperasi Pegawai Maritim
Demikian juga dengan TPK Koja, 49% sahamnya dimiliki Hutchison Port Indonesia (HPI), anak usaha HPH lainnya.
Kisah tragis yang dialami PT JICT dan TPK Koja itulah yang menjadi perhatian anak-anak bangsa yang sedang bekerja di kedua perusahaan itu.
Sejatinya pelabuhan adalah kawasan strategis dan simbol kedaulatan negara. Privatisasi pelabuhan kepada asing sama saja mengobral rahasia pertahanan negara.
Pelabuhan Tanjung Priok lebih dari sekadar terminal peti kemas atau tempat bersandar kapal-kapal dagang dan pengangkut penumpang. Ia adalah aset sejarah yang tidak sembarangan boleh diperjualbelikan, lebihlebih pada investor asing.
Jika putra putri bangsa mampu kelola dan operasikan pelabuhan nasional, kenapa harus dikontrakkan terus kepada asing?
Kemandirian sebuah bangsa, salah satunya, sangat ditentukan oleh kemampuan bangsa tersebut mengelola perekonomiannya secara berdaulat.
Oleh karenanya, sudah saatnya sektor-sektor strategis seperti pelabuhan harus dikelola secara mandiri, sehingga seluruh nilai tambah pengelolaan pelabuhan benar-benar diabdikan untuk kemakmuran bangsa Indonesia.
UUD 45 pada Pasal 33 Ayat 1: “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
Termasuk pelabuhan seperti JICT sudah seharusnya dikelola secara mandiri, bukan diserahkan ke tangan asing!!.
Semoga kemelut di PT JICT segera berakhir dengan kembalinya aset negara pada pemilik sesungguhnya..
_Ghee_
Komentar
Posting Komentar