Hari ketiga Gramedia Writers and Readers Forum 2019.
Di pagi hari
ketiga pelaksanaan GWRF 2019 ini, saya memutuskan untuk belajar mengenai seberapa penting ilustrasi
dalam sebuah buku? Illustration A Shoul of A Book,
demikian judul pembicaraan yang menghadirkan tiga ilustrator keren, mereka
adalah Emte, Lala Bohang dan Citra Marina.
Ilustrator Emte yang bernama asli Muhammad
Taufiq bercerita, bagaimana ia pernah berkhayal untuk membuat sebuah karakter
yang dapat bertahan lama, namun masih dapat dikembangkan ke mana-mana. Akhirnya
terpikirlah untuk menciptakan karakter Gugug!, seekor anjing yang senang
bertualang di sebuah kota besar. Pada
awalnya Emte ingin menggambarkan Gugug! ibarat seorang individu
yang hidup di kota besar dan mengalami perkembangan jaman dan individu tersebut
diwakilkan pada sosok seekor anjing.
Uniknya, kita tak akan menemukan narasi pada komik Gugug!,
sebab Emte berharap para pembaca
dapat menikmati cerita dan menerjemahkan menurut versi masing-masing. Kini Emte
sedang mengembangkan berbagai produk turunan dari karakter Gugug!.
Ya, ternyata karakter seekor anjing dapat diterima oleh banyak kalangan di
berbagai belahan dunia
Berbeda dengan Emte, Lala Bohang arsitek
lulusan Universitas Parahiyangan ini lebih dikenal sebagai visual artis.
Beberapa bukunya yang sudah diterbitkan antara lain: The Book of Forbiden
Feelings, The Book of Invisible Quetions, dan yang terakhir The Book of
Imaginary Beliefs (seri buku The Book of Siblings)
Lala Bohang mengatakan bahwa Ilustrasi dapat dianggap sebagai
bahasa juga dalam bercerita, jadi bukan sekedar pelengkap teks.
Lantas,
bagaimana pendapat Citra Marina, si cantik pembuat tokoh Choo Choo dalam
The Story of Choo Choo, tentang seberapa penting ilustrasi
bagi sebuah
buku? Menurutnya, ilustrasi itu menggambarkan karakter tokoh dalam buku untuk menyampaikan sebuah pesan. Untuk membuat sebuah ilustrasi yang sederhana lebih sulit,
sebab dengan sebuah gambar yang simple, pesan harus
tersampaikan. Tulisan berguna untuk merapikan kekacauan, sedangkan gambar, digunakan untuk mengacaukan kerapian.
--------------------------
--------------------------
MEET THE MASTER. Itulah tajuk acara
yang dikemas dalam forum diskusi GWRF 2019. Berbagai narasumber dihadirkan dan
hanya beberapa yang bisa saya ikuti, salah satunya Ahmad Fuadi, yang
lebih dikenal sebagai A. Fuadi, Sang Penulis Novel Negeri Lima Menara
nan legendaris. Bersama beliau kami belajar mengenai Faith That Leads
Negeri 5 Menara bercerita tentang kisah seorang anak
kampung pelosok Sumatera yang berhasil masuk ke sebuah pesantren besar di Pulau
Jawa dan akhirnya bisa berkeliling dunia. Novel ini terbit di saat ada
kekosongan tema tersebut, akibatnya langsung disambut laris oleh pembaca dan
diserbu habis hingga harus mengalami cetak ulang beberapa kali, bahkan kisahnya
sempat difilmkan beberapa waktu yang lalu. Pesan dari novel ini adalah “Jangan
pernah remehkan cita2 setinggi apapun, karena Allah Maha Mendengar”
Saat ini A Fuadi sedang menyelesaikan novel
biografi pertamanya yang diberi judul Merdeka sejak Hati. Novel ini ditulis berdasarkan kisah nyata kehidupan
Lafran Pane, seorang putra bangsa yang hidup di era awal kemerdekaan. Beliau
memiliki segala fasilitas yang bisa diperoleh, namun selalu menolak setiap
ditawari sebuah jabatan, karena lebih memilih untuk mencari kemerdekaan pribadi
dan kemerdekaan bangsanya. “Jadilah manusia berbudi pekerti tinggi, badan
sehat, pengetahuan luas, serta berbadan merdeka.”, demikian kira-kira pesan
yang ingin disampaikan A Fuadi dalam novel biografinya ini.
Kembali ke tema diskusi, menurut A Fuadi ada
tiga pertanyaan utama yang membentuk cara pandang seorang anak manusia, yaitu
tentang: darimana kita datang, untuk misi apa kita hadir di dunia dan mau
kemana kelak kita setelah meninggal?
Tentang misi itu sendiri, A Fuadi memberikan
kata kunci bahwa yang dimaksud dengan misi di sini adalah “jika kita senang dan
dapat melakukannya dengan baik”, berarti itulah misi hidup yang kita emban dan
harus dipikul hingga maut menjemput.
Hadits: "Manusia terbaik bukan yg paling
sukses, tapi paling bermanfaat untuk orang lain."
Salah satu kemanfaat diri, melalui passion yg
dimiliki. Jika mampu menyentuh banyak orang, melalui menulis. Maka menulislah
paling tidak satu buku sepanjang hidup. Sesuatu yg ditulis sendiri dari hati
kita, sebab kemanfaatan menulis itu melintas batas waktu. Menulislah yang
baik-baik dan mudah-mudahan tulisan kita membawa kemanfaatan.
Sesuatu yg berbeda yang tampak baru bagi kehidupan
seseorang, akan membawa dua kemungkinan (ingin tahu / tak peduli).
Belum tentu cerita yg kita tulis dan terlihat biasa,
akan terlihat biasa juga oleh orang lain. Tapi bagi orang yg curosity'nya
tinggi, justru akan timbul rasa ingin tahu.
--------------------------
Pada sesi diskusi terakhir yang saya ikuti adalah Meet The
Master with Ayudia dan Ditto, dengan tema Travelove Life.
Saat Ayu dan Ditto keluar panggung, penggemarnya yang
rata-rata gadis belia langsung histeris, sebab pasangan ini sangat terkenal
dengan kisahnya Teman Tapi Menikah yang telah difilmkan beberapa waktu yang
lalu. Ya, Ayu dan Ditto adalah sosok dua sahabat berlainan jenis, yang akhirnya
memilih untuk hidup bersama membina rumah tangga bahagia.
Dalam sessi ini, pasangan selebriti muda yang kini
lebih dikenal sebagai traveller ini menceritakan tentang serunya mereka
melakukan travelling bersama sejak awal pernikahan hingga memiliki seorang
balita.
Awalnya, mereka menuliskan di akun sosial media
tentang kehidupan mereka sehari-hari, hingga akhirnya tulisan mereka
diterbitkan menjadi sebuah buku “Teman Tapi Menikah”. Keberadaan buku ini juga
menjadi pengingat bagi Ayu dan Ditto, di kala mereka menghadapi konflik berdua.
Proses penulisan buku seru sekali, dibantu mbak Afri (editor elex media).
Menurut Ayunda, travelling sebaiknya dilakukan di masa
muda, sebab perjalanan itu capek dan menguras banyak pikiran, tenaga serta
dana.
Akibat keseringan melakukan travelling, akhirnya
mereka menemukan rumus travelling baru, berupa TIPS PACKING, satu koper harus mampu memuat pakaian untuk bertiga.
Konsekwensinya, mereka hanya akan membawa barang secukupnya serta jarang membeli
oleh-oleh, kecuali gantungan kunci atau magnet kulkas
Dalam sebuah perjalanan bersama, yang penting selalu dijaga adalah mood semuanya. Sebab jika ada satu orang saja yang moodnya kurang baik, akan berimbas pada yang lainnya.
Ada sebuah pengalaman traveling yang dirasa cukup berkesan, yaitu saat melakukan trip menggunakan campervan
(kendaraan rekreasi) di Selandia Baru. Tipsnya,
sebelum berangkat, harus mencari tahu terlebih dahulu tentang kondisi di
sana. Baik rute maupun cuaca. Jangan sampai kejadian seperti yang mereka
alami, melakukan perjalanan di kala musim angin (winter), sehingga
hampir saja mereka celaka saat campervan berada di pinggir danau dan
angin bertiup sangat kencang.
Kenapa Ditto sangat menyukai traveling
menggunakan campervan? Salah satu alasannya adalah, karena mereka dapat
bersama-sama dalam sebuah ruangan, tapi melakukan aktivitas beragam. Semua bisa
saling melihat dan terhubung.
Bagi Ayu dan Ditto, dalam melakukan sebuah perjalanan mereka harus
menemukan sesuatu yang baru (budaya, orang, bisnis) sebagai modal positif dan untuk
merefresh pikiran.
Traveling akan semakin seru, di saat orang lain ingin tahu dan kita bisa
mendapatkan keuntungan dari rasa keingintahuan tersebut. Tulisan bagus, gambar
bagus, cerita bagus, bisa jadi modal untuk traveling.
Dua konsep traveling yang menjadi patokan Ditto saat membawa keluarga kecilnya
bepergian jauh, yaitu pertama harus Kids friendly dan kedua transportasi mudah
diperoleh.
Kenapa mereka tidak melakukan perjalanan di dalam negeri dan justru
memilih negara lain? Sebab sebagai pasangan selebriti yang terkenal, akan sulit
bagi mereka menikmati perjalanan tanpa dikerubuti oleh para penggemarnya.
#GWRF2019
@literasinusa
@perpusnas.go.id
@blomilofficial
Komentar
Posting Komentar