Balita Gak Perlu Mengenal Nilai Uang!

ilustrasi: groupthink.jezebel.com

Ma, minta uang, mau beli permen.”, pinta Nindya 3 tahun pada Mamanya. Belum sejam berlalu, Nindya kembali menemui mamanya dan meminta uang lagi, kali ini untuk membeli cimol yang lewat di depan rumah. Demikian berulang kali dan permintaannya selalu dipenuhi oleh sang Mama yang berfikir, daripada Nindya mengamuk gara-gara keinginan jajannya tidak terlaksana, lebih aman diberi uang saja. Toh hanya receh ini, seribu dua ribu.

Ternyata, tanpa Mama sadari, sehari Nindya bisa menghabiskan lima ribu rupiah, hanya sekedar untuk memenuhi hasrat jajannya. Dihitung-hitung, dalam sebulan Nindya menghabiskan seratus lima puluh ribu rupiah. Bukan jumlah yang sedikit untuk anak seusia Nindya.

Beruntung Mama baru mempunyai Nindya seorang. Bagaimana dengan keluarga lain yang memiliki anak  dua, tiga bahkan lebih? Tentu  butuh pengeluaran lebih besar, untuk sekedar jajan ala anak sekolahan, seribu dua ribu itu.

Jika penghasilan keluarga mereka memadai, tidak masalah. Namun, seringkali justru anak-anak dari kalangan kurang mampu yang hobi jajan seribu duaribu ini. 

Padahal jika sejumlah pengeluaran tersebut, digunakan untuk mengolah makanan yang lebih bergizi, Nindya dan teman-teman tak perlu jajan makanan yang terkadang mengandung bahan-bahan berbahaya, semisal  zat pewarna yang bukan khusus untuk makanan, ataupun penggunaan zat pemutih, borax sebagai pengawet makanan, hingga penggunakan gula biang untuk memberi rasa manis yang murah meriah.

Di sinilah perlunya peran orangtua dalam menanamkan pentingnya pengenalan nilai uang sejak dini. Ajarkan pada balita, bahwa dengan uang seribu rupiah, dia bisa membeli apa saja. Bagaimana jika ia punya lima ribu rupiah, tentu lebih banyak barang yang dapat dibelinya.

Namun, wajib diingatkan, bahwa balita juga perlu mengenal pentingnya menabung dan bersedekah. Semisal ia diberi lima ribu rupiah oleh orangtuanya, sebaiknya tidak dibelanjakan semua, namun dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu untuk jajan, untuk ditabung dan untuk sedekah. Terserah mereka besaran nilai masing-masing. Kesemua itu dapat dimasukkan dalam tiga kotak berbeda.

Jika hal ini dibiasakan dan menjadi sebuah kebiasaan baik (habit), bisa diharapkan kelak  dewasa mereka dapat melakukan pengelolaan keuangan dengan baik. Dapat menyisihkan sebagian pendapatannya untuk investasi dan bersedekah. Itu yang terpenting.

Ajarkan pula pada balita, beda antara keinginan dan keperluan atau kebutuhan. Jika mereka merasa perlu memiliki sesuatu, semisal sepatu baru, bukan sekedar berdasarkan keinginan saja, padahal sepatu lama sudah banyak dan masih cukup ukurannya.

Demikian juga bila mereka meminta sebuah barang yang mempunyai nilai beli agak mahal, sepeda contohnya. Kebiasaan menabung untuk mendapatkan sebuah keinginan, dapat diterapkan di sini.

Lantas bagaimana dengan konsep berbagi? Setiap hari Jum’at biasakan bersedekah dari kotak berbagi. Atau ajak mereka memilah barang milik mereka yang sudah tak terpakai lagi namun masih layak. Bagikan pada yang sekiranya membutuhkan. Jadikan kebiasaan ini, sebulan sekali. Selain rumah tidak akan penuh dengan berbagai rongsokan atau barang yang sudah tidak digunaan, orang lain dapat memanfaatkannya.

Jika masih penasaran dengan berbagai ide mengajak balita melek finansial, silakan berdiskusi langsung dengan seorang konsultan keuangan, ibu Rina Dewi Lina, namanya. Pengalamannya selama 15 tahun di dunia keuangan, menjadi modal utama profesinya.
-------------------
RaDal, 021014 (01’12)


Komentar

Postingan Populer